Oleh: Rehan*
(24 Maret 2014)
Siapapun yang mengidamkan untuk berangkat mengisi hari liburnya di
pulau komodo tentunya akan mendapatkan pemandangan dan pengalaman yang
sangat menarik, karena bisa mengamati secara langsung hewan jenis
reptile purba yang masih tersisah di pulau mungil, yang sekarang kita
mengenalnya dengan istilah taman nasional komodo (the national
convention), keberadaanya yang didambakan oleh turis nasional ataupun
turis manca Negara. Kawasan ini dijaga oleh prajurit Negara secara
langsung. Pulau komodo telah ditetapkan sekitar tahun 1995 sebagai taman
nasional komodo, dan hewan reptile tertua yang menghuninya sebagai
hewan “terlarang” yang dilindungi oleh Negara. Perlindungan terhadap
satwa langka ini menjadikan Indonesia sebagai Negara yang penuh
Keindahan surge bagi Negara kapitalis atau Negara besar didunia. bagi
orang-orang kaya kota yang senang dengan piknik atau sekedar jalan-jalan
pulau inilah salah satu incaranya, pulau komodo banyak diminati oleh
para turis, mulai dari turis lokal, sampai dengan turis manca Negara.
Pulau komodo ini dikenal juga sebagai pulaukawasan terlarang bagi
para nelayan, letaknya Diperairan komodo Kecamatan Komodo Kabupaten
Manggarai NTT.Untuk menjaga kelestarian pulau tersebut yang telah
ditetapkan sebagai TNK (Taman Nasional Komodo), Negara mengarahkan
Aparat dengan membentuk tim Gabungan yang terdiri dari TNI AD, TNI AL,
Pol Airud, Jagawana yang bersenjata lengkap dan TNC (The National
Convention),kawasan taman nasional komodo terletak pada garis koordinat
119009’00″-119055’00″ BT dan 80020’00″ sampai dengan 80020’00″ LS.
Kehadiran TNC (The National Conversation) untuk mengelola taman
nasional komodo menimbulkan banyak masalah. Para tim gabungan semuanya
telah dipersenjatai dengan persenjataan jenis senjata M-16, senjata AK
47 dan peralatan tempur canggih lainya. mereka selalu siaga, siang dan
malam dalam mengawasi lalu-lintas perahu nelayan dalam batas radius zona
yang telah ditetapkan. Pengelolaan Taman Nasional Komodo oleh The
Nature Conservacy seiring dengan penetapan Pulau Komodo dan sekitarnya
menjadi Taman Nasional telah melahirkan berbagai praktek kekerasan dan
hingga berujung pada kematian bagi nelayan yang kedapatan terpaksa
menerobos zona merah dengan alasan tertentu. masyarakat yang hidup dan
bergantung dari kekayaang laut dan daratan wilayah tersebut menjadi
saksi kekerasan yang terus terjadi dalam kurun waktu tertentu di pulau
TNK ini. Tampa “mempedulikan” terhadap HAM ataupun kedamaian masyarakat
sekitarnya. Selain itu, Pihak TNK/TNC juga mewajibkan setiap nelayan
untuk membawa surat ijin dari RT jika pergi melaut. Peraturan Wajib
lapor ini yang menimbulkan kejengkelan dan kekecewaan tersendiri bagi
nelayan, karena setiap saat para nelayan harus selalu berpindah-pindah
tempat sesuai dengan perkiraan tempat berkumpulnya ikan. Disisi lain,
Ketentuan pemberlakuan zona merah dan areal larangan siaga satu, membuat
para nelayan pencari ikan, tripak, lobster dan lainya menjadi
ketakutan, dan hampir setiap hari perahu nelayan selalu diperiksa dan
dicurigai. Kondisi ini menjadi sangat tidak bersahabat bagi masyarakat
nelayan.
Keberadaan pulau komodo menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat
nelayan disekitar tempat itu, sejak tahun 1995 hingga tahun
2014tercatat sebelas kasus penembakan membabi buta terhadap nelayan,
yang menyebabkan 12 orang meninggal dunia dan 8 orang lainya hilang.Para
nelayanLabuan Bajo, Bajo Pulo Dan Sape (NTB), Pulau Rinca Dan
Papagarang, sejak kehadiran TNC di Komodo sejak tahun 1995, hampir
setiap hari saat melaut perahu-perahu mereka digeledah dengan kasar oleh
team operasi gabungan tersebut. Masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan, merasakan langsung keadaan yang sebenarnya dari kawasan pulau
komodo ini, tidak saja melahirkan berbagai perlakuan kekerasan dan
intimidasi fisik bagi masyarakta nelayan, tetapi juga telah merampas dan
menutup hak dan akses ekonomi bagi 2.656 KK (9.212 jiwa), mata
pencaharian sebagai nelayan menjadi pilihan hidup bagi masyarakat
sekitar pulau komodo.Sehingga mereka mencari nafkah dilaut dibawa
ancaman peluru, akan tetapi, mereka tidak punya pilihan lain, melainkan
menafkahi kehidupan mereka dengan bersandar pada kekayaan alam negeri
mereka. Masyarakat berprofesi sebagai nelayan bukan sekedar kegiatan
pelarian mata pencaharian, tapi jauh sebelum Indonesia merdeka mereka
secara turun-temurun bersandar pada kekayaan isi laut daerah mereka.
Melintasi dalam perairan TNK merupakan pemicu sederetan penderitaan
nelayan yang tak berkesudahan. Teror dan intimidasi bahkan penembakan
seolah menjadi bagian dari kehidupan nelayan. Setiap hari para nelayan
terus diteror oleh team pengaman gabungan taman nasional yang terdiri
dari TNI AD, TNI AL, Pol Airud dan Jagawana yang bersenjata lengkap.
Terror dan intimidasi tersebut semakin meningkat setelah pemerintah
pusat menggandeng sebuah lembaga konservasi internasional, The Nature
Conservacy (TNC) pada tahun 1995 untuk melakukan pengelolaan bersam-sama
dengan TNK.
Sebagai contoh kasus kekerasan,Penembakan yang dilakukan oleh Aparat
tim Gabungan TNK (Taman Nasional Komodo)/TNC (The National Convention)
yang menyebabkan dua nelayan asal desa Bugis dan desa Lambu, Kecamatan
Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) meninggal dunia di
perairan komodo Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai NTT (Sumber:
kontras, 2002).para nelayan yang berjumlah delapan orang asal sape
(Bima, NTB) turun melaut untuk menangkap ikan dengan menggunakan kapal
KM Khalifa I. tanggal 9 Nopember 2002, KM Halifah I dan II melaut dengan
daerah tujuan pulau kelapa dengan maksud mencari lobster (jenis udang
besar), ikan dan cumi-cumi. Pada tanggal 10 Nopember 2002, kurang lebih
pukul 01.00 lebih, saat hendak kembali ke Sape, tepatnya pertengahan
Pulau Nisa Leme dan Loh Tuho terjadi tembakan beruntun yang ditujukan
kepada KM Halifah I. Tembakan itu terjadi secara tiba-tiba tanpa
tembakan peringatan terlebih dahulu. Karena kaget, maka sang nahkoda
kapal yang bernama Ahmad melompat keluar dari perahu guna menyelematkan
diri. Tembakan tersebut berasal dari team operasi gabungan Taman
Nasional. Dua orang nelayan bernama Jeno (Jaenul Arifin) berumur 25
tahun yang berlamat di Jl. Raya TPI, RT 09/RW 06 dusun Bajo Serae, desa
Bugis, kecamatan Sape, Kabupaten Bima, NTB. Jeno mengalami tiga luka
tembakan yaitu bagian pantat, pinggang dan kepala bagian belakang
telinga tembus ke depan, bahkan otak belakangnya berhamburan dan diganti
dengan gulungan kertas plastik dan sementara Ie (Mohamad Yamin) berumur
18 tahun beralamat RT 06/RW 10 Desa Lumbu, Bima tertembak hingga
mengalami luka tembakan di tulang rusuk bagian kiri yang menyebabkannya
mati ditempat. Sekitar Pukul 15.00 Wita, kedua mayat tersebut diambil
sendiri oleh anggota keluarga dan ketua Perhimpunan Nelayan Sape, Haji
Nadjid M. Ali dan keluarganya karena pihak TNC tidak mau mengantar mayat
tersebut ke Sape. Sementara nelayan lainya yang selamat, ditahan selama
3 hari setelah dinyatakan tidak cukup bukti, akan tetapi sebelumnya
mereka telah mengalami penyiksaan dan intimidasi. (
https://groups.yahoo. com/neo/groups/informasi-psda/conversations/topics).
Fakta kebenaran setelah ditinjau oleh kapolres Bima, didalam KM
Halifah I milik korban, sama sekali tidak membawa bahan peledak dalam
bentuk apapun. Yang ada hanya dua gulung selang berwarna kuning dan atu
unit kompresor. Apalagi tuduhan yang dilontarkan oleh team operasi
gabungan Taman Nasional Komodo, bahwa sebelum terjadi penembakan, telah
terjadi tembakan perlawanan terhadap para petugas. Sementara Lokasi
penembakan pun ditinjau ulang oleh Polres Bima, letak lokasi penembakan
terjadi, berada pada posisi 1190 BT, 18 , 00″ (seratus sembilan belas
derajad bujur timur, delapan belas menit, nol-nol detik) dan 80 LS, 37,
00″, sekitar 8 mil dari jantung Loh Tuho, Sape. Dalam artian, penembakan
berada diluar area Zona inti Taman Nasional Komodo. Kasus tersebut
hingga kini belum menemukan titik penyelesaian bahkan telah menjadi
konflik yang terpendam dan melahirkan kebencian tersendiri pihak
keluarga terhadap pemerintah. Upaya pengaduan yang dilakukan oleh
keluarga maupun LSM terlihat sia-sia tampa hasil. Keluarga korban hanya
bisa pasrah, hal ini disebabkan oleh tidak adanya respon dari pihak
kepolisian, pemerintah serta tidak adanya kemampuan keuangan keluarga
untuk melanjutkan tuntutan.
NO |
NAMA KORBAN |
LOKASI TEMPAT KEJADIAN |
WAKTU KEJADIAN |
1 |
Agum Ila |
Komodo Barat |
23 Agustus 1980 |
2 |
Mustafa |
(Ende) dan mayat seorang temanya tidak teridentifikasi. perairan Labuan Bajo TNK |
1982 |
3 |
Umar |
Selat Bili Banta-wilayah Sape TNK |
1987 |
4 |
A. Samad |
Komodo Barat, Barat daya |
7 Juni 1992 |
5 |
Daeng Ramli |
Komodo Barat Daya |
7 Juni 1992 |
6 |
H. Ramli |
Komodo Barat, Barat daya |
1997 |
7 |
Subu, Toto & Lahing |
Mayat dan perahunya dinyatakan hilang dengan perahu KM
Rasa Sayang hingga sekarang, perahunya ditemukan terbakar di sekitar
TNK/TNC |
1998 |
8 |
Samila |
Mayat dan perahunya dinyatakan hilang di Komodo Barat Daya TNK/TNC |
1998 |
9 |
Supriadin |
Mayat Empat orang temannya hilang bersama kapalnya hingga sekarang. |
Antara tahun 1998-1999* |
10 |
Zeno (jaenal arifin) & Iye (M. yamin) |
Perairan Komodo |
11 November 2002 |
11 |
Aiman dan Faisal |
di Toro lakoi Perairan kawasan Batas TNK, keduanya mati ditempat |
27 Februari 2014 |
Jumlah korban yang meninggal dan dinyatakan hilang = 8 orang |
|
Jumlah korban yang meninggal ditemukan = 12 orang |
|
Tabel: nama-nama korban penembakan oleh Tim operasi gabungan Taman
Nasional Komodo (TNK) dan The Nature Conservacy (TNC) dari tahun 1980
s/d 2014 (Sumber:
http://www.kontras.org.)
Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 9 ayat (1) tentang hak asasi
manusia, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf hidupnya”, ayat (2) “Setiap orang berhak hidup
tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan bathin”, dan ayat
(3) “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Tindakan Team gabungan penjaga Taman Nasional Komodo /The National
Convention ini sangat bertentangan dengan pasal 4 UU No: 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia, yang menyebutkan : hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakui sebagi pribadi dan
persamaan di depan hukum tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapunjo UU No 5 tahun 1998 tentang pengesahan konvensi
menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Seiring berjalannya
waktu, hak asasi manusia (HAM) mulai dilindungi oleh setiap negara.
Salah satunya adalah Indonesia, hak asasi manusia (HAM) secara tegas di
atur dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 2 tentang asas-asas
dasar yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang
secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang
harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
beberapa jejak pelanggaran HAM di TNK dapat kita identifikasi dalam
beberapa point berikut:
- Penembakan yang dilakukan oleh aparat TNI bertentangan dengan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia khususnya pasal 3 (setiap orang
mempunyai hak atas kehidupan, serta hidup dalam kebebasan dan
keselamatan dirinya).
- tindakan aparat Tim Gabungan TNI tersebut merupakan perbuatan Summary Killing yaitu pembunuhan cepat diluar proses hukum.
- Tindakan tersebut melanggar Konvenan Sipil dan Politik pasal 6 ayat 1
(setiap umat manusia mempunyai hak hidup yang melekat pada dirinya) hak
ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak
hidupnya secara sewenang-wenang.
- TNI/Prajurit negara masih terlibat langsung dalam tindakan menjual publik domain dalam pengamanan.
- Peristiwa itu menunjukan masih adanya ovunturisme ekonomi dikalangan militer.
- Peristiwa ini merupakan cermin kegagalan TNI AD dan TNI AL dalam mengembangkan pembinaan prajurit.
- Perlu adanya reformasi di tubuh TNI dan POLRI.
Menurut Pasal 1 point 6 No. 39 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku. Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari
dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia, baik di Indonesia maupun
di belahan dunia lain. Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh pemerintah
maupun masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok.
Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat
baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang
menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh,
merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain. Umumnya
terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari
berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan.
Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan
Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
Pembunuhan yang dilakukan oleh militer atas masyarakat Bima, tidak
banyak memandangnya sebagai permasalahan serius, bahkan sebagian
masyarakat memandang bahwa tindakan yang melanggar Hak Asasi manusia Ini
sebagai tindakan konsekwensi dari tindak pidana. tampa mengetahui alur
dan kronologis permasalahan yang sesungguhnya. jikalau permasalahan
pelanggaran HAM atas masyarakat Bima Di TNK tersebut masih berlangsung
hingga sekarang, tampa ada penyelesaian secara hukum. berapa banyak lagi
korban kedepan??? silakan teman-teman menyimpulkan sendiri atas
berbagai pembantaian yang berlangsung terhadap Warga Negara Indonesia di
Bima yang berlangsung di perairan Taman Nasional Komodo….
Sumber:
http://formsurakartantb10.wordpress.com/2014/04/11/perlindungan-taman-nasional-komodo-the-national-convention-vs-pelanggaran-ham-di-bima/
*(Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Surakarta)